Tanggal 20 Desember 2014, tepat 7 hari yang lalu saya
menyempatkan diri pergi ke Gedung Setiabudi. Kehadiran saya di sana bukannya
tanpa sengaja, tetapi karena diundang oleh Kompasiana untuk menjadi salah satu dari
sekian ribu Kompasianer, untuk menjadi saksi dari dimulainya kembali era film
kolosal tradisional khas nusantara melalui sajian film bercorak beladiri yang
diberi judul “Pendekar Tongkat Emas”.
Diluncurkan di akhir tahun 2014 yang merupakan masa
libur sekolah, libur natal, dan juga tahun baru menjadi salah satu pilihan
hiburan keluarga yang anggotanya telah beranjak dewasa. Film ini menggambarkan
salah satu sisi kehidupan manusia yang tidak bisa ditebak, hari ini patuh tetapi
bisa jadi esok lusa berbalik menikam dari belakang.
Film ini diracik dengan apik oleh Ifa Isfansyah
sebagai koki (sutradara), berbekal naskah dari Jujur Prananto. Ilustrasi musik
dipunggawai oleh Erwin Gutawa dan alunan suara disumbangkan oleh Anggun,
sedangkan produser ditempati oleh duo Mira Lesmana dan Riri Riza. Miles
Production dipilih sebagai rumah produksi film ini. Film yang konon
menghabiskan anggaran sebesar Rp. 25 Milyar ini tercatat secara masih telah
melakukan publikasi secara luas di berbagai media. Rasanya film ini berhasil
memenuhi aspirasi sebagian masyarakat pecinta film, yang berhasil keluar dari jawasentris sebagai isu utama dalam
semua pembuatan film kolosal di Indonesia, serta sukses membuatnya tidak kalah
menarik dibandingkan film-film bernuansa kontemporer yang tengah merebak.
Mesin Waktu
Saya mengatakannya sebagai mesin waktu membawa kembali
ke masa silam karena selain menyuguhkan hiburan yang mengajak para penonton
dalam menikmati jalannya cerita juga bentuk nostalgia akan bacaan juga tontonan
kolosal yang pernah berjaya puluhan tahun silam di jagad enternainment Indonesia.
Masih terngiang dengan jelas bagaimana keperkasaan
tokoh-tokoh idola yang dapat disaksikan dalam film Si Buta dari Goa Hantu, Wiro
Sableng, Tutur Tinular, Titsan Darah Biru, Babad Tanah Leluhur, Saur Sepuh
Satria Madangkara, Jaka Sembung, Jaka Tingkir, Angling Dharma, Sembara, dan
lainnya. Membangkitkan rasa percaya diri sebagai seseorang yang berasal dari
“Timur”, kawasan yang kaya akan tradisi etnik kuno yang tidak dimiliki oleh
bangsa lainnya di luar sana.
Walaupun fiksi tetapi latar dan seting kisah yang
dihadirkan tidak jauh dari kehidupan yang sebenarnya ada di masa silam,
menghadirkan kenangan masa lalu yang tidak bisa diberikan oleh film-film masa
kini yang postmodernisme. Duel tongkat dan tangan kosong dieksploitasi secara
menarik sehingga menumbuhkan rasa dan asa untuk ingin kembali belajar seni bela
diri yang beraroma alam masa lalu.
Panorama yang digambarkan dalam film ini adalah hijau,
kuning, biru, merah, hitam, dan cahaya putih yang natural sebagai simbol
kesahajaan yang hampir hilang. Sekilas tarian, nyanyian, kuda, serta kain khas
bercorak Sumba Timur menjadi penghias yang semakin menambah kekentalan etnocimena sebagai paradigma yang tidak
akan habis untuk dinikmati oleh para pecinta film lawas.
Sketsa Aktor
Banyak yang menyangka jika Nicolas Saputra sebagai Elang
dalam film ini akan seromantis layaknya Rangga dalam “Ada Apa Dengan Cinta
(AADC)”, tetapi dugaan itu meleset karena ternyata Nicolas Saputra berhasil
menjadi sosok yang lebih jantan dengan tetap tidak menghilangkan ciri cool yang telah lama dibangunnya. Dalam
film ini Elang merupakan seorang keturunan dari pemimpin perguruan tongkat
emas, yang menguasai jurus Tongkat Melingkar Bumi.
Begitu pula dengan Eva Celia yang berperan sebagai Dara, ia merupakan pewaris sekaligus pelanjut tongkat estafet
kepemimpinan di dalam padepokan silat. Tongkat Emas diberikan kepadanya sebagai
simbol puncak kekuasaan dan kekuatan di perguruan ini. Dalam adegan demi adegan
Eva terlihat telah menjelma menjadi gadis, dan sukses keluar dari gambaran
gadis cilik yang selama ini melekat pada dirinya, jika membandingkannya dengan
peran yang sudah-sudah dijalaninya saat mengikuti film pendek, Andriana, atau
bintang iklan.
Reza Rahadian kebagian peran sebagai Biru, peran antagonis nan sentral yang selalu berkonflik dengan
tokoh lainnya seperti Elang dan juga Dara. Reza yang dalam film sebelumnya
seperti “Habibi dan Ainun” juga “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck” terlihat
penuh emosi, kali ini juga tetap menampakan emosi khas dirinya. Ambisi dan
muslihat dibawakannya dengan karakter yang kuat dalam setiap scene terlihat menghidupkan aroma
konflik yang menggigit.
Berperan sebagai Gerhana
yang selalu setia mendampingi Biru, Tara
Basro didaulat menempati posisi ini. Sosok yang pernah bermain dalam film “Catatan
Harian Si Boy” dan “Make Money” ini dalam awal kisah terlihat sebagai murid
yang kuat juga menaruh perhatian lebih kepada Biru. Belangnya baru diketahui ia
bersama Biru menunjukan aksinya hendak mencelakai gurunya, Dara, juga Angin.
Sebagai murid perguruan termuda dengan nama Angin, Ariah Kusumah memiliki kecepatan gerakan secepat namanya. Ia
merupakan pendatang baru, menyaksikannya di layar ini mengingatkan kita akan
petualangan dua sosok pendekar cilik dalam film China “Shaolin Popey”. Di film ini
ia berperan sebagai tangan kiri sang guru pemilik tongkat emas, juga adik yang
setia mendampingi kakak seperguruan yang mendapat amanah menjaga tongkat emas.
Kegigihan, ketabahan, kesabaran, dan kekuatan yang luar biasa ditampakannya
ketika mendapat serangan bertubi-tubi demi mempertahankan keyakinannya dan
mengorbankan dirinya untuk kepentingan yang dianggapnya lebih berharga dari
dirinya. Film ini adalah film kolosal pertama yang diperankannya, keseriusan
menjalani perannya layak mendapat apresiasi.
Christine Hakim yang didaulat sebagai Cempaka membawakan laku yang sederhana tetapi anggun juga sarat
aura kewibawaan pemimpin perguruan tongkat emas. Gerakannya terlihat lamban,
tetapi efek yang ditimbulkan akibat jurus-jurusnya tidak bisa dianggap
main-main. Murid-muridnya seperti Biru, Angin, Dara, dan Gerhana dilatihnya
untuk selalu awas terhadap siapapun termasuk kepada dirinya sendiri. Tetapi
nasihat darinya harusnya lebih berguna kepada dirinya karena ternyata pelan
tetapi pasti ia telah diracuni oleh kedua murid terkuatnya. Artis senior yang
telah membintangi segudang film Indonesia ini pun dalam perannya harus berakhir
tragis karena mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan dua muridnya dari upaya
pembunuhan Biru dan Gerhana.
Beberapa pendukung lainnya seperti Darius Sinatra yang berperan sebagai Naga
Putih saat masih muda, Prisia Nasution yang menjalankan lakon sebagai Cempaka saat muda, Slamet
Rahardjo sebagai anggota Dewan Datuk Bumi Persilatan, Whani Dharmawan sebagai Pimpinan Perguruan Sayap Merah, serta Landung Simatupang sebagai Guru sekaligus yang telah menurunkan
ilmu Tongkat Emas Melingkar Bumi kepada Cempaka muda dan Naga Putih muda.
“Waktunya Telah Tiba”
Dara, Biru, Gerhana, dan Elang adalah empat murid dari
perguran silat Tongkat Emas. Keempat murid tersebut tidak berlatih karena
proses seleksi penerimaan murid sebagaimana yang lazimnya berlaku, tetapi
karena rasa penyesalan sang guru karena orang tua mereka telah dibunuh olehnya,
akibat kerasnya kehidupan di dalam dunia persilatan yang harus dijalani oleh
orang berilmu seperti dirinya.
Ringkas kisah, Cempaka sebagai pimpinan perguruan
silat Tongkat Emas merasa telah tiba saat yang dinanti-nanti, yakni menyerahkan
Tongkat Emas simbol kekuasaan sekaligus pemilik yang nanti akan meneruskan
jalannya perguruan silat Tongkat Emas kepada muridnya yang terpilih. Nampaknya
Cempaka tidak melihat siapa murid yang paling cekatan di antara keempat
asuhannya, tetapi yang hatinya seirama dengannya. Dara sebagai murid yang
terlemah dipilihnya untuk menerima tugas baru tersebut, dan sembari membisikan
kata “...mengheningkan cipta...”, dua Biru dan Gerhana yang kecewa segera
beranjak dan bersiap melakukan aksi kudeta kepemimpinan perguruan.
Ketika dalam perjalanan menuju ke tempat latihan jurus
terakhir, Cempaka sang guru, Dara, dan Angin tiba-tiba saja diserang dari
belakang oleh Biru dan Gerhana. Penyergapan ini bertujuan untuk merebut tongkat
emas yang telah melegenda karena kekuatannya, tetapi dengan pengorbanan yang
tidak sia-sia akhirnya Cempaka merelakan dirinya menjadi tumbal dan berhasil
membuat Dara serta Angin meloloskan diri.
Perjalanan Dara dan Angin tidak semata-mata untuk
menyelamatkan nyawanya dari ancaman pembunuhan oleh Biru dan Gerhana, tetapi
juga untuk mencari pendekar Naga Putih guna mempelajari ilmu pamungkas
perguruan silat Tongkat Emas, yakni Ilmu Tongkat Emas Melingkar Bumi. Untung
tak dapat diraih serta malang tak dapat ditolak, dalam upaya pencarian, Angin
tewas dibunuh oleh Biru dan Dara mendapat kabar bahwa pendekar Naga Putih telah
lama tiada. Sejenak Dara terhempas karena putus asa, sekelebat pula ia berbalik
semangat ketika mengetahui Elang yang sejak semula hadir sebagai penyelamatnya
dari usaha pembunuhan adalah buah hati dari pendekar Naga Putih dan Cempaka,
yang juga menguasai dan dapat mengajarkannya ilmu Tongkat Emas Melingkar Bumi
kepadanya.
Dara dan Elang lalu berlatih dengan melewati serangkaian
perpaduan jiwa dan raga yang khas dalam ritual bela diri ala Tongkat Emas.
Setelah difusi ilmu selesai keduanya berangkat menemui Biru dan Gerhana yang
untuk meminta pertanggungjawabannya atas pengkhianatannya kepada dirinya,
gurunya, dan juga kepada dunia persilatan.
Pertarungan seru mengisi duel antara Dara dan Gerhana
juga antara Elang dengan Biru. Masing-masing mengeluarkan kemampuan yang telah
bertahun-tahun dipelajarinya. Satu guru, satu perguruan, dan satu ilmu membuat
duel terlihat sengit, karena sama-sama dapat saling membaca serangan,
tangkisan, dan perdiksi reaksi yang akan diperlihatkan oleh masing-masing
lawan. Gerhana menjadi korban yang jatuh pertama dalam pertarungan ini, dan
membuat Biru menjadi semakin marah hingga mencabut sebatang pohon yang
digunakannya sebagai tongkat untuk menyerang Biru dan Elang. Dengan menggunakan
jurus pamungkas Tongkat Emas Melingkar Bumi akhirnya Biru dapat dikalahkan
dengan satu serangan saja, biru terjatuh dan kisahnya berhenti di ujung tongkat
emas.
Anak Biru dan Gerhana tinggalah seorang yatim piatu,
diasuhlah ia sebagai satu-satunya murid dalam perguruan silat Tongkat Emas.
Elang yang telah terikat oleh janji terpaksa meninggalkan Dara seorang diri yang
saat itu menjadi sebagai guru di perguruan yang baru saja dijalankannya.
Samar-sama Dara melihat kemampuan si murid tunggal meningkat, si murid
senantiasa berlatih tanpa mengenal lelah dan waktu. Hingga disadarinya bahwa si
murid merupakan cahaya yang dapat meneruskan perguruan silat itu suatu saat
nanti, juga disadarinya akan hal yang sama yang pernah dilakukannya kepada
orang tua si murid dapat menimpa dirinya suatu saat nanti. Tanpa daya untuk
menolak ia tetap membiarkan cahaya ancaman itu tetap ada bersamanya.
Selanjutnya apa yang terjadi? Andalah tentunya yang lebih
layak menjawabnya dengan menyaksikan secara langsung filmnya di masa liburan
ini.
Sayang Kalau Disimpan Saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar