Tadi pagi sekitar pukul
08.40 WIB, saya menumpang mobil angkot 03 jurusan Bubulak-Baranangsiang, dari
stasiun besar (kereta) Bogor untuk menuju ke Laladon, saya menghentikan laju
mobil ini lalu naik duduk di dalamnya pada areal Jembatan Merah. Tidak berapa
lama setelah saya duduk, tiba-tiba masuklah 6 orang penumpang yang terdiri dari
seorang laki-laki dan lima orang perempuan, terlihat mereka adalah sebuah
keluarga. Di dalam mobil saya duduk bersebelahan dengan sang ayah juga sang
ibu. Satu orang anak digendong ibunya karena masih bayi, sementara tiga lainnya
duduk tepat di depanku.
Sejenak saya menikmati
alunan lagu yang dinyanyikan tiga orang anak itu, yang nampaknya di hari libur
ini mereka sedang mengadakan rekreasi keluarga. Hingga tiba-tiba saya menyadari
keanehan dengan lirik lagu yang menurut saya tidak sesuai dengan kondisi fisik
dan psikis si anak. Dengan perkiraan usia 5-6 tahun mereka riang menyanyikan
lagu “... Perawan itu Bohai, Janda itu Aduhai ...”.
Sejurus saya melihat sembari
menyerngitkan alis, sebagai bentuk simbol belum percayanya saya atas apa yang
saya dengar dari mulut anak seusia mereka. Pandangan saya dan ketiga bocah
cilik bersaudara itu bertemu, dan tiba-tiba saja lagu itu berhenti di lirik terakhir.
Nampaknya mereka baru sadar bahwa lirik yang mereka nyanyikan mendapat
resistensi dari lingkungan tempat mereka berada.
Saya pun berharap, ketiga
anak itu dapat memilih lagu-lagu dalam mengisi hari-hari pertumbuhan kedewasaan
mereka. Karena sepengetahuan saya, banyak lagu-lagu yang liriknya mengandung
pesan yang bila konsumsi oleh kalangan yang tidak sesuai dengan umurnya, maka
akan mempengaruhi pemikiran dan perilaku mereka sehari-hari. Hasilnya dapat
ditebak, mereka akan selalu berpikir akan hal tersebut dan menjadi lebih cepat
dewasa, semakin cepat menuntut hal-hal yang diberikan kepada orang dewasa. Dengan
kondisi biologis, sosiologis, juga psikologis mereka yang tidak siap manakala
terjun ke dalam hal tersebut maka mereka akan menghadapi masalah sulit untuk
mereka dapat pecahkan secara bijak, sehingga bukanlah hal indah masa dewasa
yang mereka peroleh tetapi penderitaan sebagaimana yang selalu ditayangkan
dalam sinetron-sinetron cinta-cintaan kejar tayang setiap sore dan malam hari
di layar televisi.
Hal yang membuatku trenyuh,
orang tua dari ketiga anak tadi bertingkah membiarkan, entah karena tidak tahu
hakekat lagu-lagu itu, atau mungkin pula karena tidak mau tahu akan hal
tersebut. Kembali saya sadari, Nusantara ini sedang menghadapi gempuran
sumberdaya manusia, akan jadi apa generasi ini 10 tahun yang akan datang..!
Hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar