Sabtu, 20 Desember 2014

Perawan Itu Bohai, Janda Itu Aduhai



Tadi pagi sekitar pukul 08.40 WIB, saya menumpang mobil angkot 03 jurusan Bubulak-Baranangsiang, dari stasiun besar (kereta) Bogor untuk menuju ke Laladon, saya menghentikan laju mobil ini lalu naik duduk di dalamnya pada areal Jembatan Merah. Tidak berapa lama setelah saya duduk, tiba-tiba masuklah 6 orang penumpang yang terdiri dari seorang laki-laki dan lima orang perempuan, terlihat mereka adalah sebuah keluarga. Di dalam mobil saya duduk bersebelahan dengan sang ayah juga sang ibu. Satu orang anak digendong ibunya karena masih bayi, sementara tiga lainnya duduk tepat di depanku.

Sejenak saya menikmati alunan lagu yang dinyanyikan tiga orang anak itu, yang nampaknya di hari libur ini mereka sedang mengadakan rekreasi keluarga. Hingga tiba-tiba saya menyadari keanehan dengan lirik lagu yang menurut saya tidak sesuai dengan kondisi fisik dan psikis si anak. Dengan perkiraan usia 5-6 tahun mereka riang menyanyikan lagu “... Perawan itu Bohai, Janda itu Aduhai ...”.

Sejurus saya melihat sembari menyerngitkan alis, sebagai bentuk simbol belum percayanya saya atas apa yang saya dengar dari mulut anak seusia mereka. Pandangan saya dan ketiga bocah cilik bersaudara itu bertemu, dan tiba-tiba saja lagu itu berhenti di lirik terakhir. Nampaknya mereka baru sadar bahwa lirik yang mereka nyanyikan mendapat resistensi dari lingkungan tempat mereka berada.

Saya pun berharap, ketiga anak itu dapat memilih lagu-lagu dalam mengisi hari-hari pertumbuhan kedewasaan mereka. Karena sepengetahuan saya, banyak lagu-lagu yang liriknya mengandung pesan yang bila konsumsi oleh kalangan yang tidak sesuai dengan umurnya, maka akan mempengaruhi pemikiran dan perilaku mereka sehari-hari. Hasilnya dapat ditebak, mereka akan selalu berpikir akan hal tersebut dan menjadi lebih cepat dewasa, semakin cepat menuntut hal-hal yang diberikan kepada orang dewasa. Dengan kondisi biologis, sosiologis, juga psikologis mereka yang tidak siap manakala terjun ke dalam hal tersebut maka mereka akan menghadapi masalah sulit untuk mereka dapat pecahkan secara bijak, sehingga bukanlah hal indah masa dewasa yang mereka peroleh tetapi penderitaan sebagaimana yang selalu ditayangkan dalam sinetron-sinetron cinta-cintaan kejar tayang setiap sore dan malam hari di layar televisi.

Hal yang membuatku trenyuh, orang tua dari ketiga anak tadi bertingkah membiarkan, entah karena tidak tahu hakekat lagu-lagu itu, atau mungkin pula karena tidak mau tahu akan hal tersebut. Kembali saya sadari, Nusantara ini sedang menghadapi gempuran sumberdaya manusia, akan jadi apa generasi ini 10 tahun yang akan datang..! Hanya waktu yang dapat menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar