Kamis, 30 Januari 2014

KEKHAWATIRAN ATAS DATANGNYA RICHARD C. ADKERSON


Kemarin (29 Januari 2014), Richard C. Adkerson mendatangi kantor Kementrian perindustrian MS Hidayat dan Kementrian keuangan Chatib Basri di Jakarta. Kedatangan tamu luar biasa ini berlangsung antara pukul 14.00 – 16.00 WIB dan pukul 18.30 WIB. Maksud yang dibawa oleh CEO Freeport-McMoRan Copper & Gold [induk perusahaan PT Freeport Indonesia], bukanlah untuk memberi bantuan bagi korban Gunung Sinabung, penanganan banjir di Jakarta, atau menambah armada Transjakarta, tetapi untuk curhat mengenai mahalnya biaya pembuatan smelter yang ditaksirnya sebesar Rp. 24,3 Trilyun, juga meminta keringanan bea eskpor ore. Aneh rasanya, perusahaan emas terbesar di Dunia ini, yang telah puluhan tahun mengeruk kekayaan di punggung tanah Papua, mengeluh. Hal ini mengundang cibiran dari Menteri ESDM Jero Wacik “Masak sekian tahun tidak punya duit? Miskin amat”, sesaat dari gedung DPR RI.

Bagi saya, Adkerson menimbulkan tanda tanya besar. Karena kehadirannya membawa dan memperjuangkan kepentingan perusahaannya melawan kepentingan 237 Juta penduduk Indonesia. Perusahaan ini akan mati-matian berusaha agar Freeport dapat mengeruk keuntungan, bagaimanapun caranya. Saya memiliki kekhawatiran, Indonesia akan dilanda bencana besar, huru-hara, skandal pejabat negara akan disiarkan entah oleh siapa yang memulainya nanti, bila pemerintah tidak menurut.

Pesan saya kepada pemerintah, hati-hatilah. Jangan sampai kalian termakan oleh bujuk rayu atau lari dari ancaman mereka, tetaplah konsisten mengurangi dominasi penjajah Mineral ini.

Sumber:

TAKUT KEPADA PREMAN

Ilustrasi.
Pada suatu ketika terdapat seorang yang tidak memiliki rasa takut, dapat dikatakan dirinya tidak memakai aturan yang mengikat dirinya terhadap keberadaan orang lain, pemenuhan hak dan kewajiban terhadap sesama makhluk. Orang ini kerap tidak dapat mengendalikan dirinya, berbuat sesukanya bebas tanpa nilai penghormatan keberadaan sekeliling. Lebih dekat kepada permusuhan, ketakutan orang lain terhadapnya, pada intinya dunia kejahatan. Tahukah teman – teman, seorang macam apakah dia ?. Dia adalah preman dalam globocitra humanika kontemporer.
Defenisi.
Takut adalah sifat dasar manusia, diekspresikan dalam mempertahankan diri atas ancaman yang memungkinkan tidak seimbangnya stabilitas pribadi. Ia merupakan emosi, seperti halnya marah. Menyimpan rasa takut dalam diri, membuat menjadi tersiksa, hendak mencari penyelesaiannya, memusnahkannya, mencari pelampiasan, kamuflase, sampai merasa yakin bahwa rasa takut yang ada benar – benar bukan merupakan ancaman. Takut berawal dari kondisi luar maupun dalam diri manusia atas kekhawatiran pada ancaman berimbang dengan kemampuan pertahanan, terlebih bila yang pertama lebih besar lalu kemudian mengalahkan pembelaan diri. Dalam kejadiannya, berlangsung proses kimia dalam otak, lalu mempengaruhi sistem kerja syaraf, maka tubuh mempercepat detak jantung, tekanan aliran darah menjadi tinggi, orang – orang mata membesar, kelenjar keringat membesar dan meningkatkan produksi keringat, melemaskan persendian, menimbulkan kecemasan secara psikis, maka melalui perhitungan antara kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman kemudian tubuh melalui mengartikan sinyal yang ada sebagai bahaya terhadapnya, yang dikenal dengan nama Takut.
Secara harfiah menurut asumsi saya, Preman merupakan gabungan dari dua kata yakni Pre dan Man, merupakan peluluhan dari kata bahasa Inggris untuk Free dan Man, yang masing – masing bermakna bebas dan lelaki. Selalu di sebut Free Man, Free Man, lalu berubah untuk tata pelafalan orang Indonesia, PREMAN. Maka sampai hari ini kita mengenal sebutan Preman.
Ikhtiari.
Sempat diberikan predikat demikian atau tidak, sebenarnya jika mau mengakui dalam setiap diri pribadi kita terdapat gejolak yang terkadang mengarahkan diri untuk lepas bebas tanpa ikatan nilai. Memberontak pada kukungan aturan yang mengekang. Hendak berbuat sesuai kehendak hati, berpikir, bergerak, berpendapat seenak diri. Terdapat potensi kelainan jiwa yang kalau dalam dunia psikologi dikatakan bahwa setiap manusia memiliki gangguan jiwa. Preman adalah ungkapan sepintas penggambaran aktifitas manusia yang kurang bahkan tidak menghargai nilai – nilai kemanusiaan. Setiap manusia memiliki potensi untuk berperilaku demikian. Hanya penerapannyalah yang menjadikannya sehingga dikatakan bahwa dia adalah preman atau bukan.
Preman adalah manusia, kita adalah manusia. Mereka bisa main kelereng, kita juga bisa. Mereka tidur dan kita juga tidur. Intinya mereka bisa makan nasi sebagaimana halnya diri kita. Tidak beda. Yang beda hanya nama, TTLx, hobinya, nama pacar or kekasihnya, bentuk fisiknya, dll. Lain dari itu sama.
Kebanyakan orang takut kepada preman, dalam realitasnya ancaman kata – kata, fisik, suasana, serta lingkungan. Tahukah teman – teman, preman adalah manusia yang hanya disinggahi oleh relatifitas pengaruh buruk, sementara pengaruh buruk adalah sesuatu yang rendah di hadapan manusia. Hanya bisa mempengaruhi. Mati dengan benar melawan mereka merupakan idealisasi. Jadi jangan takut, takut kepada sesuatu yang hakekatnya rendah.
Seorang anak kecil ketika lahir ke atas dunia, memandang kepada dirinya yang terbentuk atas daging ibunya, darah hasil usaha bapaknya, merupakan terbaik diri dari orang tuanya yang membuatnya sampai berupaya mengerti isi tulisan ini. Membesarkannya dengan kasih sayang, namun setelah dewasa mereka mengetahui anaknya tesakiti oleh preman, pada dasarnya diri mereka yang tersakiti. Membuat orang tua sedih, takut, malu, tersakiti adalah tabu. Takut kepada preman adalah tabu, karena jika takut maka berarti telah menzalimi diri. Sekiranya diri ini berkurang karena preman, maka berarti diri ini yang merupakan tulang berbalut daging hasil diri ibu kita sendiri tersakiti. Ibu kita tersakiti terlepas apakah ia mengetahuinya atau tidak. Menyakiti ibu sendiri adalah durhaka, dan tidak ada yang lebih disesalkan dari durhaka.
Tidak ada alasan untuk menjadi takut kepada preman. Ketika kita berjalan, berhadapan dengan orang lain, sesungguhnya kita adalah representatif dari kedua orang tua kita. Kewajiban kita untuk menjaga harga diri orang tua kita. Sebaiknya orang banyak tidak usah tahu mengenai siapa orang tua kita, karena keburukan yang kita lakukan akan menimpa mereka walaupun tanpa mereka restui. Sadar atau tidak sadar, seperti itulah cara pandang orang – orang tua yang ada di Tanah Buton, eksistensi manusia dalam aktifitas hubungan. Terdapat beberapa jalan yang bisa digunakan untuk penanganannya, salah satunya yakni Baku Mati.
Namun baku mati ini dapat dihindari jika konsep Sara Pata Anguna dapat termanifestasi dalam ide yang mewujud pada perikelakuan kehidupan sehari – hari. Berupaya memahami diri, keberadaan orang lain dengan memulainya melalui memahami, mengenal diri sendiri. Dalam penggambarannya ketika mencubit diri sendiri akan menimbulkan rasa sakit, demikian halnya kepada orang lain.
__________________________
Tulisan ini pernah saya tampilkan di  http://filsafat.kompasiana.com/2014/01/27/takut-kepada-preman-630841.html, tanggal 27 Januari 2014

EROR

Pagi ini aku akan berangkat ke kampus untuk berkuliah menuntut ilmu agar sukses hidup esok kelak. Kupersiapkan segala sesuatunya, kubersihkan kamarku, kusiapkan sarapan untuk anaku, kuseduhkan kopi untuk suamiku, kubantu orang tua cucikan piring. Kuminta ijin pada Bosku di t4 kerja & kukecup kening istriku. Agar memuluskanku, agar tidak menjadi penghalang asa yang kucari.
Kuberdoa, agar kaki yang melangkah keluar dari pintu, berpijak pada t4 yang benar. Menumpang pete – pete yang ongkosnya memaksa turut diprioritaskan dibanding dengan harga kebutuhan dasar diri dan masih diputar – putarkan di kota Bau – Bau yang pada akhirnya sampai di kampus. Mengemudikan motor yang membuat diri baku intip – intip dengan swipingnya POLANTAS. Mengayuh sepeda yang tidak pernah bisa sebalap motor satri. Untuk pergi ke kampus, untuk berkuliah.
Bayanganku, akulah yang ditunggui oleh pengajar beserta semua teman – temanku dalam kelas. Kenyataan berbalik menjadi orang pertama di kelas. Hari ini, minggu depan, bulan depan, sampai jelang semesteran, tidak berubah. Dosennya tidak pernah masuk, tidak konsisten pada janji, ketetapannya kaku dan mengganggu.
Diriku, Ayahanda, Ibunda, Suamiku, Istriku, Pacarku, Anaku, Bosku, tidak lama lagi aku akan menyelesaikan studiku. Berdoalah agar aku berhasil. Aku yakin, aku bisa, aku selalu hadir. Tugas – tugas kuusahakan kupenuhi. Nasehat pengajarku kudengarkan, kulaksanakan, kuberupaya menyempurnakannya.
Semoga aku lulus, walaupun pertemuan terakhir tidak sempat kuhadiri karena harus memperbaiki motor yang mogok. Walaupun presentase makalahku tidak jadi karena aku lupa yang disebabkan oleh banyak pikiran untuk menyelesaikan tugas yang lainnya. Walaupun suruhan agar datang ke rumah dosen tidak kuindahkan karena orang tua yang bepergian berpesan untuk menjaga rumah sementara situasi dan kondisiku tidak seimbang. Walau aku tidak mid semester karena anaku sakit di rumah atau bosku di kantor menyodorkan pekerjaan vital.
Semoga saja.
***
Terima kasih Tuhan.
Engkau Maha Pengasih.
Diri yang hina ini masih Kau beri nikmat menghirup oksigen.
Engkau Maha Bijaksana.
Menyebarkan pengetahuan di muka bumi ini.
Engkau Maha Penyayang.
Selalu menyelamatkanku dari malapetaka, penderitaan berkepanjangan.
***
Pagi ini aku akan berangkat ke kampus untuk melihat hasil perjuanganku selama ini, hasil pengorbananku selama ini, hasil jerih payahku selama ini.
Bersemangat sekali kudatangi berita acara itu.
“E”.
Itulah nilaiku.
“E” artinya Eror. Sama dengan Nol. Sama halnya tidak berbuat sama sekali. Sama artinya tidak hadir diperkuliahan. Membangkang pada dosen, tidak menyempurnakan tugas, tidak ikut ujian, tidak berbuat apa – apa.
Lantas apa artinya setiap kali aku bermalu – malu diri pada atasanku untuk minta ijin pergi berkuliah, apa artinya aku meninggalkan anakku yang penuh tangis di rumah, apa artinya aku meninggalkan piring kotor di rumah, apa artinya membiarkan kucingku yang belum makan pagi di kos – kosan, meninggalkan suamiku dengan lupa membuatkannya kopi, apa artinya sakit kepala selama 4 bulan karena diputar – putarkan mobil pete – pete & hampir ditabrak ojek karena buru – buru mau pergi berkuliah.
Tidak ada artinya sama sekali. Semua itu dikalikan dengan Nol. Dan Hasilnya Nol juga. Ratusan ribu kukeluarkan, namun usahaku sesuai kemampuanku sebagai manusia hanya dihargai “NOL’, naif.
Siapakah yang membulatkan nilaiku ?. Ternyata pengajarku yang selama ini membimbingku. Ternyata Dosenku. Bapak Dosen yang kuhormati, Ibu Dosen yang kuhargai. Betapa jeli matamu, betapa tajam hatimu, betapa bijaksananya dirimu, betapa penuh sifat manusiawimu mengalahkan hakim kaku yang mengadili kasus Raju. Sampai hati memberiku nilai “E”. Eror. Nol. Memberikan nilai yang sepadan dengan pengorbananku selama ini.
Terima kasih Bapak Dosen, terima kasih Ibu Dosen. Hasil goresan tanganmu telah memucatkan jasadku sesaat. Sampai akhirnya aku mengambil nafas panjang untuk menenangkan diri. Hhhhhhhhhhhmhhhhhhhhhhh………………
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa tetap memelihara & menjaga cara pandangmu yang manusiawi itu. Memberikan nilai Eror, yang berarti Nol, yang berarti aku tidak pernah berbuat sama sekali, padahal faktanya sangat berlawanan.

Kita adalah miliknya, Kita akan kembali kepada-Nya, & tidak akan lama hidup di sini, cuma sebentar.
_______________________
Tulisan ini pernah penulis muat dalam majalah dinding di kampus tempat penulis menempuh pendidikan S1, 10 tahun silam. Tulisan ini diinspirasi oleh banyaknya teman-teman penulis yang mendapat nilai E oleh karena persoalan yang sebetulnya sepele. Penulis kembali tampilkan sebagai refleksi perjalanan intelektual penulis ketika masih “berdarah panas”..
Tulisan ini juga penulis pernah tampilkan di http://sosbud.kompasiana.com/2014/01/27/eror-630839.html, pada tanggal 27 Januari 2014

ILMU KEBAL

Entah kenapa ya, beberapa tahun yang lalu tiba-tiba saja saya berpikir untuk mengunjugi beliau. Dari kabar yang saya dengar kalau sakit telah menyerang dirinya, kepapaan tak dapat lagi disembunyikannya ketika menyambutku di ruang tamunya yang sederhana.
Ini saya lakukan semenjak saya dihinggapi rasa yang besar untuk mencari jati diri.. Muncul keinginan untuk bertemu orang-orang yang dekat dengan Tuhan, saya minta didoakan agar cita-citaku terkabul. Saya minta diberikan ajaran dan nasehat yang mungkin dalam pandangannya akan berguna bagi orang sepertiku.
Maka diberikanlah ilmu kebal kepadaku.

“Rauda, untuk menjadi kebal itu tidak berarti kalau ditembak, maka pelor tidak tembus di kulit, kalau ditikam, maka pisau tidak bisa merobek daging. Tetapi menjadi kebal yang sebenarnya adalah ketika sudah tidak ada lagi orang yang berniat mencelakai kamu”.
Saya terkesima, karena tidak pernah saya sangka akan mendapat hal seperti ini. Pikirku Ilmu kebal itu mandi air berapa mata air, melakukan tirakatan, merapal jurus, seraya membaca mantra, atau latihan fisik yang berat. Ternyata sesederhana itu.

Saya sadar, untuk melaksanakannya akan sangat susah. Terlebih di zaman sekarang, masa yang jika kita tidak saling berhimpit-himpitan dan bergesekan yang beresiko menimbulkan musuh-musuh baru, maka kita akan sangat sulit untuk bertahan. Mau bersikap untuk tidak menghasilkan musuh? Susah tetapi tidak mustahil. Musuh akan selalu muncul, ia hadir dari kekecewaannya pada diri yang tidak mampu memberikan harapan yang tidak sesuai dengan harapan diri.

Beberapa minggu kemudian saya dengar beliau telah berpulang. Rupanya Ilmu kebal itu menjadi yang pertama dan terakhir yang ia berikan kepadaku, di awal masa kedewasaanku, memasuki kehidupan masyarakat yang keras..

Selamat jalan Opa La Ode Zaenu. Semoga Yang Maha Kuasa menerima segala amal kebaikan yang pernah engkau semai selama ini. Amin.
______________________
Tulisan ini pernah saya muat di http://raudaaspalbuton.blogspot.com/, 26 Juni 2013, dan http://filsafat.kompasiana.com/2014/01/24/ilmu-kebal-630293.html, 24 Januari 2014.