Ilustrasi.
Pada
suatu ketika terdapat seorang yang tidak memiliki rasa takut, dapat
dikatakan dirinya tidak memakai aturan yang mengikat dirinya terhadap
keberadaan orang lain, pemenuhan hak dan kewajiban terhadap sesama
makhluk. Orang ini kerap tidak dapat mengendalikan dirinya, berbuat
sesukanya bebas tanpa nilai penghormatan keberadaan sekeliling. Lebih
dekat kepada permusuhan, ketakutan orang lain terhadapnya, pada intinya
dunia kejahatan. Tahukah teman – teman, seorang macam apakah dia ?. Dia
adalah preman dalam globocitra humanika kontemporer.
Defenisi.
Takut
adalah sifat dasar manusia, diekspresikan dalam mempertahankan diri
atas ancaman yang memungkinkan tidak seimbangnya stabilitas pribadi. Ia
merupakan emosi, seperti halnya marah. Menyimpan rasa takut
dalam diri, membuat menjadi tersiksa, hendak mencari penyelesaiannya,
memusnahkannya, mencari pelampiasan, kamuflase, sampai merasa yakin
bahwa rasa takut yang ada benar – benar bukan merupakan ancaman. Takut
berawal dari kondisi luar maupun dalam diri manusia atas kekhawatiran
pada ancaman berimbang dengan kemampuan pertahanan, terlebih bila yang
pertama lebih besar lalu kemudian mengalahkan pembelaan diri. Dalam
kejadiannya, berlangsung proses kimia dalam otak, lalu mempengaruhi
sistem kerja syaraf, maka tubuh mempercepat detak jantung, tekanan
aliran darah menjadi tinggi, orang – orang mata membesar, kelenjar
keringat membesar dan meningkatkan produksi keringat, melemaskan
persendian, menimbulkan kecemasan secara psikis, maka melalui
perhitungan antara kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman kemudian
tubuh melalui mengartikan sinyal yang ada sebagai bahaya terhadapnya,
yang dikenal dengan nama Takut.
Secara
harfiah menurut asumsi saya, Preman merupakan gabungan dari dua kata
yakni Pre dan Man, merupakan peluluhan dari kata bahasa Inggris untuk
Free dan Man, yang masing – masing bermakna bebas dan lelaki. Selalu di
sebut Free Man, Free Man, lalu berubah untuk tata pelafalan orang
Indonesia, PREMAN. Maka sampai hari ini kita mengenal sebutan Preman.
Ikhtiari.
Sempat
diberikan predikat demikian atau tidak, sebenarnya jika mau mengakui
dalam setiap diri pribadi kita terdapat gejolak yang terkadang
mengarahkan diri untuk lepas bebas tanpa ikatan nilai. Memberontak pada
kukungan aturan yang mengekang. Hendak berbuat sesuai kehendak hati,
berpikir, bergerak, berpendapat seenak diri. Terdapat potensi kelainan
jiwa yang kalau dalam dunia psikologi dikatakan bahwa setiap manusia
memiliki gangguan jiwa. Preman adalah ungkapan sepintas penggambaran
aktifitas manusia yang kurang bahkan tidak menghargai nilai – nilai
kemanusiaan. Setiap manusia memiliki potensi untuk berperilaku demikian.
Hanya penerapannyalah yang menjadikannya sehingga dikatakan bahwa dia adalah preman atau bukan.
Preman
adalah manusia, kita adalah manusia. Mereka bisa main kelereng, kita
juga bisa. Mereka tidur dan kita juga tidur. Intinya mereka bisa makan
nasi sebagaimana halnya diri kita. Tidak beda. Yang beda hanya nama,
TTLx, hobinya, nama pacar or kekasihnya, bentuk fisiknya, dll. Lain dari
itu sama.
Kebanyakan
orang takut kepada preman, dalam realitasnya ancaman kata – kata,
fisik, suasana, serta lingkungan. Tahukah teman – teman, preman adalah
manusia yang hanya disinggahi oleh relatifitas pengaruh buruk, sementara
pengaruh buruk adalah sesuatu yang rendah di hadapan manusia. Hanya
bisa mempengaruhi. Mati dengan benar melawan mereka merupakan
idealisasi. Jadi jangan takut, takut kepada sesuatu yang hakekatnya
rendah.
Seorang
anak kecil ketika lahir ke atas dunia, memandang kepada dirinya yang
terbentuk atas daging ibunya, darah hasil usaha bapaknya, merupakan
terbaik diri dari orang tuanya yang membuatnya sampai berupaya mengerti
isi tulisan ini. Membesarkannya dengan kasih sayang, namun setelah
dewasa mereka mengetahui anaknya tesakiti oleh preman, pada dasarnya
diri mereka yang tersakiti. Membuat orang tua sedih, takut, malu,
tersakiti adalah tabu. Takut kepada preman adalah tabu, karena jika
takut maka berarti telah menzalimi diri. Sekiranya diri ini berkurang
karena preman, maka berarti diri ini yang merupakan tulang berbalut
daging hasil diri ibu kita sendiri tersakiti. Ibu kita tersakiti
terlepas apakah ia mengetahuinya atau tidak. Menyakiti ibu sendiri
adalah durhaka, dan tidak ada yang lebih disesalkan dari durhaka.
Tidak
ada alasan untuk menjadi takut kepada preman. Ketika kita berjalan,
berhadapan dengan orang lain, sesungguhnya kita adalah representatif
dari kedua orang tua kita. Kewajiban kita untuk menjaga harga diri orang
tua kita. Sebaiknya orang banyak tidak usah tahu mengenai siapa orang
tua kita, karena keburukan yang kita lakukan akan menimpa mereka
walaupun tanpa mereka restui. Sadar atau tidak sadar, seperti itulah
cara pandang orang – orang tua yang ada di Tanah Buton, eksistensi
manusia dalam aktifitas hubungan. Terdapat beberapa jalan yang bisa
digunakan untuk penanganannya, salah satunya yakni Baku Mati.
Namun
baku mati ini dapat dihindari jika konsep Sara Pata Anguna dapat
termanifestasi dalam ide yang mewujud pada perikelakuan kehidupan sehari
– hari. Berupaya memahami diri, keberadaan orang lain dengan memulainya
melalui memahami, mengenal diri sendiri. Dalam penggambarannya ketika
mencubit diri sendiri akan menimbulkan rasa sakit, demikian halnya
kepada orang lain.
__________________________
Tulisan ini pernah saya tampilkan di http://filsafat.kompasiana.com/2014/01/27/takut-kepada-preman-630841.html, tanggal 27 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar