Kamis, 30 Januari 2014

TAKUT KEPADA PREMAN

Ilustrasi.
Pada suatu ketika terdapat seorang yang tidak memiliki rasa takut, dapat dikatakan dirinya tidak memakai aturan yang mengikat dirinya terhadap keberadaan orang lain, pemenuhan hak dan kewajiban terhadap sesama makhluk. Orang ini kerap tidak dapat mengendalikan dirinya, berbuat sesukanya bebas tanpa nilai penghormatan keberadaan sekeliling. Lebih dekat kepada permusuhan, ketakutan orang lain terhadapnya, pada intinya dunia kejahatan. Tahukah teman – teman, seorang macam apakah dia ?. Dia adalah preman dalam globocitra humanika kontemporer.
Defenisi.
Takut adalah sifat dasar manusia, diekspresikan dalam mempertahankan diri atas ancaman yang memungkinkan tidak seimbangnya stabilitas pribadi. Ia merupakan emosi, seperti halnya marah. Menyimpan rasa takut dalam diri, membuat menjadi tersiksa, hendak mencari penyelesaiannya, memusnahkannya, mencari pelampiasan, kamuflase, sampai merasa yakin bahwa rasa takut yang ada benar – benar bukan merupakan ancaman. Takut berawal dari kondisi luar maupun dalam diri manusia atas kekhawatiran pada ancaman berimbang dengan kemampuan pertahanan, terlebih bila yang pertama lebih besar lalu kemudian mengalahkan pembelaan diri. Dalam kejadiannya, berlangsung proses kimia dalam otak, lalu mempengaruhi sistem kerja syaraf, maka tubuh mempercepat detak jantung, tekanan aliran darah menjadi tinggi, orang – orang mata membesar, kelenjar keringat membesar dan meningkatkan produksi keringat, melemaskan persendian, menimbulkan kecemasan secara psikis, maka melalui perhitungan antara kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman kemudian tubuh melalui mengartikan sinyal yang ada sebagai bahaya terhadapnya, yang dikenal dengan nama Takut.
Secara harfiah menurut asumsi saya, Preman merupakan gabungan dari dua kata yakni Pre dan Man, merupakan peluluhan dari kata bahasa Inggris untuk Free dan Man, yang masing – masing bermakna bebas dan lelaki. Selalu di sebut Free Man, Free Man, lalu berubah untuk tata pelafalan orang Indonesia, PREMAN. Maka sampai hari ini kita mengenal sebutan Preman.
Ikhtiari.
Sempat diberikan predikat demikian atau tidak, sebenarnya jika mau mengakui dalam setiap diri pribadi kita terdapat gejolak yang terkadang mengarahkan diri untuk lepas bebas tanpa ikatan nilai. Memberontak pada kukungan aturan yang mengekang. Hendak berbuat sesuai kehendak hati, berpikir, bergerak, berpendapat seenak diri. Terdapat potensi kelainan jiwa yang kalau dalam dunia psikologi dikatakan bahwa setiap manusia memiliki gangguan jiwa. Preman adalah ungkapan sepintas penggambaran aktifitas manusia yang kurang bahkan tidak menghargai nilai – nilai kemanusiaan. Setiap manusia memiliki potensi untuk berperilaku demikian. Hanya penerapannyalah yang menjadikannya sehingga dikatakan bahwa dia adalah preman atau bukan.
Preman adalah manusia, kita adalah manusia. Mereka bisa main kelereng, kita juga bisa. Mereka tidur dan kita juga tidur. Intinya mereka bisa makan nasi sebagaimana halnya diri kita. Tidak beda. Yang beda hanya nama, TTLx, hobinya, nama pacar or kekasihnya, bentuk fisiknya, dll. Lain dari itu sama.
Kebanyakan orang takut kepada preman, dalam realitasnya ancaman kata – kata, fisik, suasana, serta lingkungan. Tahukah teman – teman, preman adalah manusia yang hanya disinggahi oleh relatifitas pengaruh buruk, sementara pengaruh buruk adalah sesuatu yang rendah di hadapan manusia. Hanya bisa mempengaruhi. Mati dengan benar melawan mereka merupakan idealisasi. Jadi jangan takut, takut kepada sesuatu yang hakekatnya rendah.
Seorang anak kecil ketika lahir ke atas dunia, memandang kepada dirinya yang terbentuk atas daging ibunya, darah hasil usaha bapaknya, merupakan terbaik diri dari orang tuanya yang membuatnya sampai berupaya mengerti isi tulisan ini. Membesarkannya dengan kasih sayang, namun setelah dewasa mereka mengetahui anaknya tesakiti oleh preman, pada dasarnya diri mereka yang tersakiti. Membuat orang tua sedih, takut, malu, tersakiti adalah tabu. Takut kepada preman adalah tabu, karena jika takut maka berarti telah menzalimi diri. Sekiranya diri ini berkurang karena preman, maka berarti diri ini yang merupakan tulang berbalut daging hasil diri ibu kita sendiri tersakiti. Ibu kita tersakiti terlepas apakah ia mengetahuinya atau tidak. Menyakiti ibu sendiri adalah durhaka, dan tidak ada yang lebih disesalkan dari durhaka.
Tidak ada alasan untuk menjadi takut kepada preman. Ketika kita berjalan, berhadapan dengan orang lain, sesungguhnya kita adalah representatif dari kedua orang tua kita. Kewajiban kita untuk menjaga harga diri orang tua kita. Sebaiknya orang banyak tidak usah tahu mengenai siapa orang tua kita, karena keburukan yang kita lakukan akan menimpa mereka walaupun tanpa mereka restui. Sadar atau tidak sadar, seperti itulah cara pandang orang – orang tua yang ada di Tanah Buton, eksistensi manusia dalam aktifitas hubungan. Terdapat beberapa jalan yang bisa digunakan untuk penanganannya, salah satunya yakni Baku Mati.
Namun baku mati ini dapat dihindari jika konsep Sara Pata Anguna dapat termanifestasi dalam ide yang mewujud pada perikelakuan kehidupan sehari – hari. Berupaya memahami diri, keberadaan orang lain dengan memulainya melalui memahami, mengenal diri sendiri. Dalam penggambarannya ketika mencubit diri sendiri akan menimbulkan rasa sakit, demikian halnya kepada orang lain.
__________________________
Tulisan ini pernah saya tampilkan di  http://filsafat.kompasiana.com/2014/01/27/takut-kepada-preman-630841.html, tanggal 27 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar